Senin, 24 Mei 2010

FENOMENA GAYUS TAMBUNAN

INDONESIA memang negeri yang amat lucu. Coba bayangkan,Gayus Tambunan,pegawai negeri golongan IIIA di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu), yang baru bekerja selama 10 tahun, ternyata memiliki simpanan uang Rp28 miliar di rekeningnya.

Gaji dan honor Gayus Rp 12,1 juta. Uang Rp28 miliar di rekening Gayus sama dengan gajinya untuk bekerja selama 192,8 tahun! Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, orang nomor satu di negeri ini, kekayaan yang dilaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelang Pilpres 2009 hanya Rp7 miliar! Kekayaan Gayus Tambunan memang sungguh mencengangkan. Betapa tidak, penulis saja yang sudah menjadi pegawai negeri sipil selama 26 tahun dengan posisi sebagai profesor riset sejak 2006 dengan pangkat tertinggi pegawai negeri sipil pembina utama golongan IV/e hanya bergaji Rp5 juta per bulan dan memiliki kekayaan ratusan juta rupiah saja. Alangkah Lucunya (negeri ini), judul film yang diputar perdana Senin malam (12/4) di Bioskop KC 21, Planet Hollywood, Jakarta. Judul itu amat mengilhami penulis dalam membuat lead artikel ini.

Kelucuan bukan saja pada jumlah uang yang dimiliki Gayus, melainkan juga pada mengapa kasus ini baru terungkap setelah Komjen Pol Susno Duadji, mantan Kabareskrim Mabes Polri,mengungkap adanya makelar kasus perpajakan di tubuh Polri? Kita semua tahu, persoalan korupsi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak sudah lama tercium.Namun, mengapa baru sekarang terungkap? Gayus hanyalah pion kecil dari kasus ini.Bukan mustahil ada juga Gayus-Gayus lain di institusi tersebut yang “terpaksa”melakukan korupsi terkait “budaya kerja” di institusi itu.Bukan mustahil Gayus melakukan itu karena atasannya menekan. Jika ia tidak melakukannya, bukan mustahil ia akan dipindahkan ke daerah yang jauh dari keramaian.

Tak aneh jika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengambil langkah untuk membebastugaskan 10 pemimpin Gayus di Direktorat Keberatan dan Banding Ditjen Pajak. Ungkapan Susno Duadji bahwa kasus itu dapat diungkap hanya dalam tiga hari amat masuk akal karena semuanya sudah amat transparan.Persoalannya, apakah masalah korupsi ini akan diungkap sampai ke akar-akarnya atau hanya akan berhenti pada Gayus beserta 10 atasannya dan perwira menengah serta perwira tinggi Polri yang diduga terlibat dalam kasus ini?

Budaya Instan
Seluk-beluk korupsi yang dilakukan Gayus terkait dengan “budaya instan” yang melanda sebagian pegawai negeri sipil serta pegawai di instansi pemerintah lain yang ingin cepat kaya. Lantaran kemiskinan yang mereka derita selama ini,tidak sedikit generasi muda pegawai negeri sipil yang terjangkit penyakit “ingin cepat kaya” dengan cara apa pun. Jika itu mereka lakukan melalui cara-cara halal seperti berbisnis atau melipatgandakan uang melalui reksa dana, hal itu merupakan suatu yang wajar walau tidak mungkin dalam 10 tahun seorang pegawai negeri bisa memiliki kekayaan Rp28 miliar.

Alih-alih mereka berusaha meningkatkan kualitas diri dan mengikuti jalur tingkatan jabatan melalui pendidikan dan pengalaman kerja, pegawai negeri sipil semacam Gayus justru melihat kesempatan emas menjadi kaya karena posisinya yang strategis di Direktorat Keberatan dan Banding Ditjen Pajak. Penulis pernah kagum kepada mereka yang bekerja di direktorat tersebut karena secara berapi-api mereka amat pro pada wajib pajak yang katanya terlalu besar membayar pajaknya kepada negara. Kini penulis baru terbuka matanya, bahwa apa yang mereka lakukan tidak semuanya bersifat “altruism” (tanpa pamrih), melainkan “ada udang di balik batu”.

Yang terungkap pada kasus Gayus mungkin hanyalah puncak gunung es.Masih banyak lagi “Gayus- Gayus lain”yang mungkin korupsinya lebih besar atau lebih kecil.Tak aneh bila kasus ini menjadi guyonan pula di antara teman-teman penulis dengan kalimat: “Kalau orang gak suka bergaul namanya gak gaul. Kalau orang yang sudah lama kerja tapi gak kaya-kaya seperti kamu dan aku, namanya gakGayus!” Alangkah baiknya jika persoalan korupsi di Ditjen Pajak ini bukan melulu dilihat dari kacamata remunerasi akibat dari reformasi birokrasi di pemerintahan, melainkan juga dari sisi psikologi orang yang bekerja di direktorat tersebut. Selain persoalan “budaya instan” tersebut, ada pula budaya “solider” dalam artian yang negatif.

Maksudnya, mereka melakukan itu karena rasa solidaritas sesama pegawai yang kemudian dibagi-bagi kepada sesamanya atau di direktorat lain yang “kering” atau mereka takut dikucilkan oleh temantemannya karena dianggap tidak solider dan “sok suci”. Negeri ini memang lucu, orang yang suci dan ingin berbuat kebajikan untuk negara kadang justru diasingkan oleh lingkungannya. Penulis yakin tidak sedikit dari mereka yang bekerja di Ditjen Pajak adalah orangorang yang jujur. Namun nasib mereka justru tidak sebaik orang seperti Gayus, baik dari segi ekonomi, posisi jabatan maupun wilayah kerja. Gayus yang sudah tertangkap basah karena diduga melakukan korupsi dapat saja menjadi pahlawan dalam artian positif. Ia dapat saja membuka segala ketidakberesan yang terjadi di lingkungan tempatnya bekerja demi membersihkan bekas institusinya. Memang dia akan dianggap tidak solider oleh kawan atau atasannya.

Namun hanya dengan itu dia akan mendapatkan keringanan hukuman jika di dalam pengadilan baru nantinya ia terbukti bersalah melakukan korupsi. Meski namanya sempat tercemar, bagi Gayus jika ia insyaf dan ingin menjalani kehidupan baru dengan batin yang tenang, berlaku pemeo “lebih terhormat menjadi mantan koruptor yang sadar akan kesalahannya dan berubah menjadi orang yang baik ketimbang menjadi mantan orang baik-baik yang terjerumus menjadi koruptor”!

SUMBER : SEPUTAR INDONESIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar